Upaya Memperjuangkan Hak-Hak Pemain
Dalam upaya memperjuangkan hak-hak pemain, Bambang Pamungkas dan rekan-rekannya di Asosiasi Pesepakbola Profesional Indonesia (APPI) telah menemui berbagai pihak terkait untuk mencari penyelesaian dan jalan keluar. Mereka menghadapi tekanan dari sana-sini, terutama dari pihak-pihak yang merasa terganggu dengan langkah-langkah APPI.
Apakah Bepe bersama rekan-rekannya di APPI keder dan ciut menghadapi semua tekanan itu? Apakah mereka akan tetap jalan terus di jalur gerakan memperjuangkan hak-hak pemain? Berikut lanjutan wawancara dengan Bepe:
Terkait perjuangan Anda di APPI, bagaimana respon pihak-pihak terkait, seperti PSSI, KPSI (Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia), operator liga, pemerintah, dan lain-lain?
Jujur, ini memang sesuatu hal yang agak sedikit berat bagi kami, bagi saya secara pribadi. Ketika kita membela kepentingan pemain, kita dihadapkan banyak hal. Dengan klub yang berlawanan dengan kita, dengan regulator liga, dengan pemerintah yang memfasilitasi. Artinya, bahwa saat ini pemain dibenturkan pada segala sisi.
Ketika saya berurusan membela pemain-pemain di ISL (Indonesia Super League), saya akan berbenturan dengan klub ISL dan KPSI. Ketika saya membela pemain-pemain di LPI (Liga Primer Indonesia), saya akan berhadapan dengan PSSI dan PT LPIS (Liga Prima Indonesia Sportindo). Artinya, ini menjadi sebuah keharusan bagi kami untuk melakukan hal itu.
Tetapi, sekali lagi sejauh ini memang kami kurang puas dengan tanggapan mereka. Akan tetapi, kami selalu berusaha untuk memperjuangkan pemain. Karena pada saatnya nanti, saya yakin, orang akan tahu bahwa sepak bola tidak bisa dimainkan tanpa pemain.
Apa yang membuat Anda merasa tidak puas?
Karena bagaimana izin liga bisa bergulir, sementara tanggungan kewajiban klub masih begitu banyaknya. Padahal, jelas-jelas tertera ketika ada tanggungan klub belum selesai, liga tidak akan berjalan. Nyatanya sekarang (liga) tetap berjalan. Itu menjadi hal yang sangat mengecewakan bagi pemain.
Termasuk tidak puas pada pemerintah yang memberi lampu hijau bergulirnya liga?
Jelas. Mungkin Anda mengerti sendiri ketika kami bertemu BOPI (Badan Olahraga Profesional Indonesia), ketika kami bertemu pemerintah, bahwa keberpihakan pada pemain itu masih sangat minim, menurut saya pribadi. Sehingga, ke mana lagi kami memperjuangkan hal ini ketika pemerintah pun memberi kelonggaran pada klub untuk menjalankan regulasi yang mereka tetapkan.
Artinya, bahwa saya setuju ketika kemarin pemerintah menyatakan ini pembelajaran buat semua. Saya setuju. Pemain juga menerima pembelajaran. Tetapi, perlu diingat, pembelajaran ini tidak hanya satu sisi. Artinya, harus berjalan bersama-sama.
Ketika pemerintah mengatakan ini pembelajaran buat pemain, mereka juga harus memberi pembelajaran kepada klub. Dengan apa? Dengan menekan mereka bahwa mereka juga harus mengikuti peraturan yang memang sudah ditetapkan bersama. Jadi, harus ada dua sisi yang sama-sama berjalan sebagaimana mestinya. Karena, saling mengerti itu harus dari dua arah, tidak satu arah.
Kabarnya Anda dan kawan-kawan mendapat teror terkait langkah memperjuangkan hak pemain?
Saya tidak ingin mengatakan itu sebuah teror. Tetapi, bahwa itu mungkin sebuah apresiasi yang agak sedikit melenceng. Artinya, keberadaan beberapa tekanan ini membuktikan bahwa kami mulai dipandang, kami mulai mendapatkan atensi mereka. Bahwa mereka mulai sadar bahwa kekuatan pemain itu luar biasa.
Cuma satu hal yang saya sayangkan, pemain sendiri masih belum menyadari akan hal itu. Sehingga, sejujurnya pemain di Indonesia belum bisa disatukan dalam satu suara untuk menentukan apa keinginan mereka. Ini yang membuat kami dari APPI sedikit prihatin, mengingat kami berjuang untuk membela mereka, tetapi di sisi lain pemain tidak ingin berjuang untuk membela diri sendiri.
Jadi, bagi saya, segala tekanan yang APPI alami adalah sebuah apresiasi yang mungkin sedikit salah. Tetapi, bagi saya, itu sebuah motivasi bahwa perjuangan kami diperhatikan.
Tekanan itu berupa apa?
Saya tidak ingin merinci satu per satu. Karena, saya tidak tahu, apakah tekanan itu kepada saya atau Ponaryo (Astaman) atau Valent (Valentino Simanjuntak, General Manager APPI) atau exco yang lain, saya tidak tahu. Tetapi jujur, bahwa pada akhirnya kami dibenturkan pada sesama kami sendiri.
Ada mantan teman kami yang sudah pensiun dan bekerja di salah satu pihak. Ia bicara tidak dalam arti menekan, tetapi memberikan, "Ayolah.. sebagai teman". Menurut saya, itu yang paling susah, di mana ia bicara sebagai teman.
Tetapi, sekali lagi, bahwa kita bicara ke depan, kita bicara mungkin anak saya nanti, cucu saya nanti, ingin berkarier sebagai pemain sepak bola. Artinya, kita ingin menata sebuah pondasi kuat untuk mereka (agar) nantinya lebih nyaman bermain. Itu yang penting, dengan apa pun kondisinya dari yang sekarang harus kita jalani.
Tekanan itu datang dari mana saja?
Ya, banyak. Tetapi, sekali lagi, saya tidak ingin merinci itu. Memang ada hal itu terjadi, tetapi itu tidak akan mengurangi niatan kami, APPI, untuk memperjuangkan pemain.
Ada pihak yang menyebut APPI seperti LSM (lembaga swadaya masyarakat) yang mengusung bendera sosialis di tengah iklim kapitalis. Apakah strategi saat ini sudah tepat?
Saya tidak melihat strategi itu sebagai masalah. Karena, bagi saya, begini. Sesimpel ini: bagaimana seorang bekerja, katakanlah seorang pembantu bekerja kepada majikannya, ketika orang tersebut tidak mendapatkan haknya selama lima bulan, sebuah hal yang wajar ketika dia menanyakan, "Kapan saya akan digaji?" Sesimpel itu.
Kita tidak meminta gaji plus bonus plus bunga. Tetapi, hak kami selesaikanlah. Karena kami sudah menyelesaikan kewajiban kami. Itu saja, sesimpel itu. Bagaimana mereka berpikir bahwa ini strategi yang salah ketika, katakanlah ada pemain yang saat meninggal belum menerima haknya. Di mana hati nurani mereka untuk melihat permasalahan itu?
Saya tidak ingin menanggapi itu terlalu serius. Akan tetapi, saya berpikir, apakah iya, ketika pemain dalam kondisi seperti itu, mereka berpikir kami ini tidak realistis dalam berjuang? Kan tidak seperti itu. Jadi, bagi saya, sesimpel itu permasalahannya. Tetapi, kenapa mereka menanggapinya dengan begitu berlebihan?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)





0 komentar:
Posting Komentar